Otok-otok, alat deteksi gempa buatan warga Bantul, DIY


Sumberberita6 - Indonesia berada di jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Berada di jalur pertemuan itu menyebabkan Indonesia menjadi wilayah yang kerap diguncang gempa bumi.

Beberapa kali wilayah Indonesia diguncang gempa dengan skala besar. Salah satu yang pernah porak poranda diguncang gempa adalah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2006 lalu. Salah satu wilayah terdampak gempa 2006 adalah Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul. 80 Persen bangunan rumah di wilayah tersebut mengalami rusak berat dan ada pula yang roboh rata dengan tanah.

Belajar dari pengalaman gempa bumi 2006 dan juga gempa bumi yang terjadi setelahnya, beberapa warga Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul membuat sebuah alat Early Warning System (EWS) untuk gempa bumi.

EWS tersebut merupakan hasil rancangan Giyanto (37) bersama tujuh kawannya yang tergabung dalam Komunitas Relawan Tanggap Jogja. EWS tersebut dibuat untuk alat sensor gempa.

Menurut Giyanto, saat ditemui di rumahnya di daerah Nogosari, Selopamioro, Bantul, alat sensor gempa tersebut dinamai 'Otok-otok'. Nama itu dipilih untuk memudahkan warga kampung memahami dan mengenal alat sensor gempa tersebut.

"Kalau dinamai EWS warga pasti tidak paham. Kalau dinamai otok-otok gampang diingat dan warga juga gampang memahami fungsinya," ungkap Giyanto, 

Giyanto menceritakan bahwa awal mula pembuatan otok-otok setelah dirinya dan ketujuh rekannya berkunjung ke alat sensor kegempaan gempa di Posko Gunung Merapi, Sleman. Melihat alat sensor kegempaan itu, Giyanto pun mencermati cara kerja dan cara membuat alat tersebut.

"Ya setelah lihat cara kerja tiba-tiba kepikiran untuk membuat alat yang sama tapi dengan bahan yang sederhana dan harganya murah," jelas Giyanto.

Giyanto dan ketujuh rekannya lalu segera mencoba membuat alat tersebut. Dalam membuat otok-otok tak langsung bisa sekali jadi. Giyanto dan rekan-rekannya berulang kali harus menemui kegagalan demi membuat otok-otok.

Pantang menyerah, Giyanto dan rekannya pun terus melakukan riset, uji coba dan perbaikan di sana-sini. Setelah beberapa kali melakukan uji coba akhirnya alat bikinan Giyanto dan rekannya itu bisa berfungsi dengan baik saat ada getaran.

"Awal pembuatan kita berkali-kali gagal. Belum pas ukuran panjang dan diameter besarnya pipa air. Tapi ya terus kami perbaiki hingga jadi seperti yang sekarang ini," papar Giyanto.

Bahan-bahan yang digunakan oleh Giyanto dan rekannya untuk membuat otok-otok terbilang sangat sederhana dan mudah dicari. Sensor gempa itu berbahan pipa air, senar kawat neklin yang biasa digunakan untuk memancing, skrup, bandul lot tukang bangunan, alarm bel rumah, klem almunium dan almunium bekas minuman kaleng.

"Jadi kalau ada guncangan gempa, bandul di dalam pipa air akan bergerak dan menyentuh empat buah skrup. Lalu alarm bel rumah yang tersambung dengan Otok-otok akan berbunyi. Jika sudah berbunyi maka warga segera tanggap bahwa ada gempa bumi," beber Giyanto.

Giyanto menyampaikan bahwa jika ditotal untuk membuat satu unit otok-otok biayanya tak mahal. Hanya menghabiskan uang sebesar Rp 50 ribu per unitnya. Bahkan jika menggunakan bahan bekas biaya pembuatan otok-otok tak sampai Rp 50 ribu.

"Awal pembuatan otok-otok karena kami cuma kepikiran kalau ada alat seperti ini, setiap kali ada guncangan gempa warga di dusun saya yang tidur pun pasti tahu, soalnya ada alarmnya. Warga pun bisa segera tanggap mengantisipasi sehingga tidak ada korban jiwa," pungkas Giyanto.

Setelah sukses membuat sebuah Otok-otok, Giyanto dan rekan-rekannya kemudian membuat lagi beberapa alat yang sama. Kemudian Otok-otok itu dibagikan ke beberapa warga di Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Posting Komentar